Selasa, 28 Juli 2015

Sejarah Kerajaan Islam di Indonesia



KESULTANAN MALAKA

1.        Sejarah
a.        Pendiri
Kerajaan  Malaka  didirikan  oleh  Parameswara  antara  tahun  1380-1403  M.  Parameswara berasal  dari  Sriwijaya,  dan merupakan  putra  Raja  Sam  Agi. Saat itu, ia masih  menganut agama  Hindu.  Ia melarikan  diri ke Malaka  karena  kerajaannya  di Sumatera  runtuh  akibat diserang Majapahit. Pada saat Malaka didirikan, di situ terdapat penduduk asli dari Suku Laut yang hidup sebagai nelayan. Mereka berjumlah lebih kurang tiga puluh keluarga. Raja dan pengikutnya adalah rombongan pendatang yang memiliki tingkat kebudayaan yang jauh lebih tinggi,  karena  itu,  mereka  berhasil  mempengaruhi  masyarakat  asli.  Kemudian,  bersama penduduk asli tersebut, rombongan pendatang mengubah Malaka menjadi sebuah kota yang ramai. Selain menjadikan  kota tersebut sebagai pusat perdagangan,  rombongan  pendatang juga  mengajak   penduduk   asli  menanam   tanaman   yang  belum  pernah   mereka   kenal sebelumnya, seperti tebu, pisang, dan rempah-rempah.
Rombongan pendatang juga telah menemukan biji-biji timah di daratan. Dalam perkembangannya, kemudian terjalin hubungan perdagangan yang ramai dengan daratan Sumatera. Salah satu komoditas penting yang diimpor Malaka dari Sumatera saat itu adalah beras. Malaka amat bergantung pada Sumatera dalam memenuhi kebutuhan beras ini, karena persawahan dan perladangan tidak dapat dikembangkan di Malaka. Hal ini kemungkinan disebabkan  teknik  bersawah  yang  belum  mereka  pahami,  atau mungkin  karena  perhatian mereka  lebih  tercurah  pada  sektor  perdagangan,  dengan  posisi  geografis  strategis  yang mereka miliki.
Berkaitan dengan asal usul nama Malaka, bisa dirunut dari kisah berikut. Menurut  Sejarah Melayu (Malay Annals) yang ditulis Tun Sri Lanang pada tahun 1565, Parameswara melarikan diri dari Tumasik, karena diserang oleh Siam. Dalam pelarian tersebut, ia sampai ke Muar, tetapi ia diganggu biawak yang tidak terkira banyaknya.  Kemudian ia pindah ke Burok dan mencoba  untuk  bertahan  disitu,  tapi  gagal.  Kemudian  Parameswara  berpindah  ke  Sening Ujong hingga  kemudian  sampai  di Sungai  Bertam,  sebuah  tempat  yang terletak  di pesisir pantai.   Orang-orang   Seletar   yang   mendiami   kawasan   tersebut   kemudian   meminta Parameswara  menjadi raja. Suatu ketika, ia pergi berburu. Tak disangka,  dalam perburuan tersebut, ia melihat salah satu anjing buruannya ditendang oleh seekor pelanduk. Ia sangat terkesan dengan keberanian pelanduk tersebut. Saat itu, ia sedang berteduh di bawah pohon Malaka. Maka, kawasan tersebut kemudian ia namakan Malaka.
Dalam versi lain, dikatakan bahwa sebenarnya nama Malaka berasal dari bahasa Arab Malqa, artinya  tempat  bertemu.  Disebut  demikian,  karena  di  tempat  inilah  para  pedagang  dari berbagai negeri bertemu dan melakukan transaksi niaga. Demikianlah, entah versi mana yang benar, atau boleh jadi, ada versi lain yang berkembang di masyarakat.

b.        Politik Negara
Dalam  menjalankan  dan menyelenggarakan  politik negara,  ternyata  para sultan menganut paham politik hidup berdampingan secara damai (co-existence policy) yang dijalankan secara efektif. Politik hidup berdampingan secara damai dilakukan melalui hubungan diplomatik dan ikatan  perkawinan.  Politik  ini  dilakukan  untuk  menjaga  keamanan  internal  dan  eksternal Malaka. Dua kerajaan besar pada waktu itu yang harus diwaspadai adalah Cina dan Majapahit. Maka, Malaka kemudian menjalin hubungan damai dengan kedua kerajaan besar ini. Sebagai tindak  lanjut  dari  politik  negara  tersebut,  Parameswara  kemudian  menikah  dengan  salah seorang putri Majapahit.
Sultan-sultan yang memerintah setelah Prameswara (Muhammad Iskandar Syah) tetap menjalankan politik bertetangga baik tersebut. Sebagai bukti, Sultan Mansyur Syah (1459 1477) yang memerintah  pada masa awal puncak kejayaan Kerajaan  Malaka juga menikahi seorang putri Majapahit sebagai permaisurinya.  Di samping itu, hubungan baik dengan Cina tetap dijaga dengan saling mengirim utusan. Pada tahun 1405 seorang duta Cina Ceng Ho datang ke Malaka untuk mempertegas  kembali  persahabatan  Cina dengan Malaka. Dengan demikian, kerajaan-kerajaan lain tidak berani menyerang Malaka. Pada tahun 1411, Raja Malaka balas berkunjung ke Cina beserta istri, putra, dan menterinya. Seluruh rombongan tersebut berjumlah 540 orang. Sesampainya di Cina, Raja Malaka beserta rombongannya  disambut  secara  besar-besaran.  Ini merupakan  pertanda  bahwa,  hubungan antara  kedua  negeri  tersebut  terjalin  dengan  baik.  Saat  akan  kembali  ke  Malaka,  Raja Muhammad Iskandar Syah mendapat hadiah dari Kaisar Cina, antara lain ikat pinggang bertatahkan  mutu  manikam,  kuda  beserta  sadel-sadelnya,  seratus  ons  emas  dan  perak, 400.000 kwan uang kertas, 2600 untai uang tembaga, 300 helai kain khasa sutra, 1000 helai sutra  tulen,  dan  2 helai  sutra  berbunga  emas.  Dari  hadiah-hadiah  tersebut  dapat  ditarik kesimpulan bahwa, dalam pandangan Cina, Malaka adalah kerajaan besar dan diperhitungkan. Di masa Sultan Mansur Syah, juga terjadi perkawinan antara Hang Li Po, putri Maharaja Yung Lo  dari  dinasti  Ming,  dengan  Sultan  Mansur  Shah.  Dalam  prosesi  perkawinan  ini,  Sultan Mansur Shah mengirim Tun Perpateh Puteh dengan serombongan  pengiring ke negeri China untuk menjemput  dan membawa Hang Li Po ke Malaka. Rombonga ini tiba di Malaka pada tahun 1458 dengan 500 orang pengiring.
Demikianlah,  Malaka  terus  berusaha  menjalankan  politik  damai  dengan  kerajaan-kerajaan besar. Dalam melaksanakan politik bertetangga yang baik ini, peran Laksamana Malaka  Hang Tuah  sangat  besar.  Laksamana  yang  kebesaran  namanya  dapat  disamakan  dengan  Gajah Mada atau Adityawarman  ini adalah tangan kanan Sultan Malaka, dan sering dikirim ke luar negeri mengemban tugas kerajaan. Ia menguasai bahasa Keling, Siam dan Cina.

c.              Hang Tuah
Hang Tuah lahir di Sungai Duyung Singkep.  Ayahnya  bernama  Hang Machmud  dan ibunya bernama Dang Merdu. Kedua orang tuanya adalah rakyat biasa yang hidup sebagai petani dan penangkap ikan. Keluarga Hang Tuah kemudian pindah ke Pulau Bintan. Di sinilah ia dibesarkan. Dia berguru di Bukit Lengkuas, Bintan Timur. Pada usia yang masih muda, Hang Tuah sudah menunjukkan kepahlawanannya  di lautan. Bersama empat orang kawan seperguruannya, yaitu Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiyu, mereka berhasil menghancurkan  perahu-perahu bajak laut di sekitar perairan dan selat-selat di Kepulauan Riau, sekalipun musuh mereka jauh lebih kuat. Karena  kepahlawanan  Hang  Tuah  dan  kawan-kawannya  tersebut,  maka  Sultan  Kerajaan Malaka mengangkat mereka sebagai prajurit kerajaan. Hang Tuah sendiri kemudian diangkat menjadi  Laksamana  Panglima  Angkatan  Laut  Kerajaan  Malaka.  Sedangkan  empat  orang kawannya tersebut di atas, kelak menjadi prajurit Kerajaan Malaka yang tangguh. dalam  pengabdiannya  demi  kebesaran  Malaka,  Laksamana  Hang  Tuah  dikenal  memiliki semboyan berikut.
1.              Esa hilang dua terbilang
2.              Tak Melayu hilang di bumi.
3.              Tuah sakti hamba negeri.
Hingga saat ini, orang Melayu masih mengagungkan  Hang Tuah, dan keberadaanya  hampir menjadi mitos. Namun demikian, Hang Tuah bukanlah seorang tokoh gaib. Dia meninggal di Malaka dan dimakamkan di tempat asalnya, Sungai Duyung di Singkep.
d.        Malaka Sebagai Pusat Penyebaran Agama Islam
Sebelum muncul dan tersebarnya  Islam di Semenanjung  Arabia, para pedagang  Arab telah lama  mengadakan  hubungan  dagang  di  sepanjang  jalan  perdagangan  antara  Laut  Merah dengan Negeri Cina. Berkembangnya agama Islam semakin memberikan dorongan pada perkembangan   perniagaan  Arab,  sehingga  jumlah  kapal  maupun  kegiatan  perdagangan mereka di kawasan timur semakin besar. Pada abad VIII, para pedagang Arab sudah banyak dijumpai di pelabuhan Negeri Cina. Diceritakan, pada tahun 758 M, Kanton merupakan salah satu tempat tinggal para pedagang Arab. Pada abad IX, di setiap pelabuhan  yang terdapat  di sepanjang  rute perdagangan  ke Cina, hampir dapat dipastikan  ditemukan  sekelompok  kecil pedagang Islam. Pada abad XI, mereka juga telah tinggal  di Campa dan menikah  dengan penduduk  asli, sehingga  jumlah pemeluk  Islam  di  tempat  itu  semakin  banyak.  Namun,  rupanya  mereka  belum  aktif berasimilasi   dengan  kaum  pribumi  sehingga   penyiaran   agama  Islam  tidak  mengalami kemajuan.
Sebagai salah satu bandar ramai di kawasan timur, Malaka juga ramai dikunjungi oleh para pedagang  Islam.  Lambat  laun,  agama  ini  mulai  menyebar  di  Malaka.  Dalam perkembangannya, raja pertama Malaka, yaitu Prameswara akhirnya masuk Islam pada tahun 1414  M.  Dengan  masuknya  raja  ke  dalam  agama  Islam,  maka  Islam  kemudian  menjadi agama resmi di Kerajaan Malaka, sehingga banyak rakyatnya yang ikut masuk Islam.
Selanjutnya,   Malaka   berkembang   menjadi   pusat   perkembangan   agama   Islam  di  Asia Tenggara, hingga mencapai puncak kejayaan di masa pemeritahan Sultan Mansyur Syah (14591477).  Kebesaran  Malaka  ini berjalan  seiring  dengan  perkembangan  agama  Islam. Negeri-negeri  yang berada di bawah taklukan Malaka banyak yang memeluk agama Islam. Untuk mempercepat proses penyebaran Islam, maka dilakukan perkawinan antarkeluarga.
Malaka  juga  banyak  memiliki  tentara  bayaran  yang  berasal  dari  Jawa.  Selama  tinggal  di Malaka, para tentara ini akhirnya  memeluk Islam. Ketika mereka  kembali ke Jawa, secara tidak langsung, mereka telah membantu proses penyeberan Islam di tanah Jawa. Dari Malaka, Islam kemudian tersebar hingga Jawa, Kalimantan Barat, Brunei, Sulu dan Mindanau (Filipina Selatan).
Malaka runtuh akibat serangan Portugis pada 24 Agustus 1511, yang dipimpin oleh Alfonso de Albuquerque.    Sejak   saat   itu,   para   keluarga   kerajaan   menyingkir   ke   negeri   lain.
2.        Silsilah
Raja/Sultan yang memerintah di Malaka adalah sebagai berikut :
1)        Permaisura yang bergelar Muhammad Iskandar Syah (13801424)
2)        Sri Maharaja (14241444)
3)        Sri Prameswara Dewa Syah (14441445)
4)        Sultan Muzaffar Syah (14451459)
5)        Sultan Mansur Syah (14591477)
6)        Sultan Alauddin Riayat Syah (14771488)
7)        Sultan Mahmud Syah (14881551)

3.        Periode Pemerintahan
Setelah  Parameswara  masuk  Islam,  ia  mengubah  namanya  menjadi  Muhammad  Iskandar Syah pada tahun 1406, dan menjadi Sultan Malaka I. Kemudian, ia kawin dengan putri Sultan Zainal  Abidin  dari  Pasai.  Posisi  Malaka  yang  sangat  strategis  menyebabkannya   cepat berkembang  dan  menjadi  pelabuhan  yang  ramai.  Akhir  kesultanan  Malaka  terjadi  ketika wilayah ini direbut oleh Portugis yang dipimpin oleh Alfonso dalbuquerque pada tahun 1511. Saat  itu, yang berkuasa di Malaka adalah Sultan Mahmud Syah.
Usia Malaka  ternyata  cukup  pendek,  hanya  satu setengah  abad.  Sebenarnya,  pada  tahun 1512,  Sultan  Mahmud  Syah  yang  dibantu  Dipati  Unus  menyerang  Malaka,  namun  gagal merebut kembali wilayah ini dari Portugis. Sejarah Melayu tidak berhenti sampai di sini. Sultan Melayu segera memindahkan pemerintahannya  ke Muara, kemudian ke Pahang, Bintan Riau, Kampar, kemudian kembali ke Johor dan terakhir kembali ke Bintan. Begitulah, dari dahulu bangsa  Melayu  ini  tidak  dapat  dipisahkan.  Kolonialisme  Baratlah  yang  memecah  belah persatuan dan kesatuan Melayu.
4.        Wilayah Kekuasaan.
Dalam masa kejayaannya, Malaka mempunyai kontrol atas daerah-daerah berikut :
1)          Semenanjung Tanah Melayu (Patani, Ligor, Kelantan, Trenggano, dan sebagainya).
2)          Daerah Kepulauan Riau.
3)          Pesisir Timur Sumatra bagian tengah.
4)          Brunai dan Serawak.
5)          Tanjungpura (Kalimantan Barat).
Sedangkan daerah yang diperoleh dari Majapahit secara diplomasi adalah sebagai berikut.
1)          Indragiri.
2)          Palembang. 
3)     Pulau Jemaja, Tambelan, Siantan, dan Bunguran.